Yang Kamu Lakukan ke Bumi Itu Jahat!
by Editor
Kita semua setuju gak ada yang suka disalah-salahin. Tapi apa mau dikata, kegiatan kita sebagai homo sapiens, khususnya di peradaban industrial seabad terakhir ini, memang berkontribusi besar terhadap apa yang kita sebut krisis iklim.
“Pengaruh manusia terhadap sistem iklim jelas, dan emisi gas rumah kaca antropogenik terakhir adalah yang tertinggi dalam sejarah” – IPCC (Fifth Assessment Report, Summary for Policymakers)
Pernyataan para ilmuwan bukan tanpa penjelasan saintifik. Untuk mencari faktor apa yang sejalan dengan tren meningkatnya suhu bumi, para ilmuwan mencoba menghitung tren dari beberapa fenomena lain yang mungkin berkaitan. Fenomena yang dilihat antara lain yaitu radiasi matahari, aktivitas gunung berapi, polusi ozon, penggunaan dan lahan.
Carbon Brief punya video singkat untuk membandingkan beberapa kemungkinan penyebab pemanasan global, klik untuk melihat pergerakannya:
(Psst…Selain video diatas, Bloomberg juga punya interactive chart untuk mencari tahu biang kerok perubahan iklim! Klik disini.)
Markus Huber dan Retto Knutti, dua ilmuwan dari ETH Zurich mencoba membuat modelling untuk memperkirakan berapa persen kontribusi manusia dalam pemanasan global. Hasilnya, setidaknya 74% dari pemanasan global hampir pasti disebabkan dari kegiatan manusia. Setidaknya lho ya, bisa jadi lebih.
Interview Dr. Gavin Schmidt dari NASA dan perkiraan atribusi dari IPCC menunjukkan angka yang lebih mengejutkan lagi. Perkiraan mereka, kontribusi manusia terhadap pemanasan global ada di angka 110% (dari batas perkiraan antara 72%-146%).
Sebentar, kok bisa lebih dari 100%?
Iya, karena setelah diteliti lagi, sebenarnya ada beberapa faktor alam dalam 50 tahun terakhir yang membantu ‘mendinginkan’ bumi sedikit. Faktor alam seperti apa? Salah satu contohnya adalah semburan aerosol sulfat ke udara dari letusan gunung berapi. Ketika gunung meletus, aerosol sulfat akan tersembur ke udara dan membentuk ‘kabut’ yang menghalangi sinar matahari mencapai permukaan bumi, sehingga akan ada efek dingin. Kalau bukan karena letusan gunung berapi di beberapa dekade terakhir, suhu bumi diperkirakan bisa sepertiga lebih panas dari yang kita alami sekarang.
Observasi rata-rata suhu bumi yang dilakukan Berkeley Earth, berbanding dengan faktor manusia (garis merah), faktor alam (garis biru), dan gabungan keduanya (garis abu-abu). Grafik oleh Carbon Brief.
Sayangnya, bahkan setelah semua grafik dan penelitian ini, masih banyak orang-orang diluar sana yang belum yakin kalau perubahan iklim itu disebabkan kegiatan manusia. Akhirnya ilmuwan cari cara lain untuk mencari tahu ‘jejak’ manusia dalam gas rumah kaca di atmosfer, yaitu…dengan cari tahu komposisi karbon.
Jadi, ternyata gak semua karbon itu komposisinya sama. Karbon punya tiga isotop berbeda, yaitu C12 (karbon 12), C13 (karbon 13), dan C14 (karbon14). Nah, karbon yang emang ‘dari sananya’ ada di atmosfer, dengan karbon ‘pendatang’ yang dihasilkan pembakaran bahan bakar fosil itu komposisinya ternyata beda! Karbon yang berasal dari tumbuhan (bahan bakar fosil berasal dari fosil tumbuhan jutaan tahun lamanya) punya rasio karbon 13 yang lebih sedikit. Kalau komposisi karbon 13 lebih sedikit di atmosfer, berarti emang perubahan iklim itu karena kegiatan manusia membakar bahan bakar fosil!
Bisa ditebak dong hasil penelitiannya? Dalam 10,000 tahun terakhir, belum pernah ada masa dimana rasio karbon 13 serendah saat ini. Udah gitu, dalam datanya kelihatan kalau rasionya mulai terjun bebas sekitar tahun 1850. Ada apa tahun itu? Yes, dimulainya revolusi industri. Mesin-mesin mulai menggantikan kegiatan manusia secara masif dan semua hal dalam hidup kita tiba-tiba butuh energi.
Pernah gak kita nonton film atau baca buku yang setting-nya di masa lalu ketika semua hal masih manual? Mulai dari kendaraan (pakai tenaga hewan), penerangan (pakai matahari), berkomunikasi (pakai surat), produksi makanan (pakai tangan), sampai hiburan (nonton/dengar langsung on the spot). Kira-kira yang kita pikirin apa sih? Kadang mungkin mikir, susah banget ya hidup zaman dulu. Mau apa-apa gak bisa instan, harus nunggu lama. Enak banget peradaban kita sekarang, semuanya tersedia dan serba cepat.
Tapi kita kadang lupa untuk berpikir dari mana semua kemudahan ini berasal dan apa harga yang harus kita bayar. Kita juga jarang puas. Dapat sesuatu yang cepat, kita mau sesuatu yang lebih cepat lagi. Dapat sesuatu yang murah, kita mau yang lebih murah lagi. Jadilah semua kemudahan ini ditopang dengan energi yang paling murah yang tersedia saat ini: bahan bakar fosil. Semakin kebutuhan berlipat ganda, populasi meningkat secara eksponensial, semakin banyak bahan bakar fosil yang kita lepaskan ke atmosfer.
Salah satu laporan IPCC menyebutkan bahwa setengah dari emisi karbon yang ‘disumbangkan’ oleh manusia antara tahun 1750 sampai 2011 itu terjadi hanya di 40 tahun terakhir aja, artinya setelah kita mengalami globalisasi dan digitalisasi besar-besaran dan industri minyak, gas, dan batubara mendominasi pasokan energi global.
Kamu, kita, mereka, saat ini semuanya sedang mengonsumsi energi. Setiap detik.
Terus kita semua harus gimana?
Kabar baiknya adalah, masih ada kesempatan buat kita mencegah kemungkinan yang paling buruk dari krisis iklim. Pihak pemerintah di berbagai negara di dunia mulai didesak untuk mempercepat pergantian energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan (nanti bakal kita bahas lebih jauh!), dan banyak kampanye menggalakkan pengurangan energi berlebihan.
Krisis iklim sudah di depan mata, dan harus diakui manusia ambil andil di dalamnya. Tapi jangan diem aja, ayo mulai gerak dan cegah yang terburuk! Seperti kata Sherina: