Parasite, Snowpiercer dan Krisis Iklim versi Bong Joon-ho

by Editor

Lewat filmnya Parasite yang baru saja memborong enam piala Oscar kemarin, Bong Joon-ho menuai banyak pujian. Film Parasite dianggap sukses menjadi kritik terhadap ketidaksetaraan yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.

Gak cuma sebagai kritik sosial, film Bong Joon-ho ini menarik banget karena menggambarkan realita krisis iklim (secara disengaja atau tidak) yang banyak dilupakan orang: bahwa krisis iklim pada dasarnya adalah pertanyaan mengenai keadilan sosial.

Biar gak bingung, gimana kalau kita bahas dari awal?

Jadi gini. Kita semua tahu lah ya kalau climate deniers, atau orang-orang yang gak percaya adanya krisis iklim, adalah kelompok yang sangat menghambat kemajuan dalam aksi iklim. Tapi tahukah kamu kalau ada faktor penghambat lainnya, yaitu perselisihan di antara mereka yang percaya bahwa krisis iklim itu nyata?

Bagi mereka yang percaya pada adanya krisis iklim, ada perbedaan pendapat mengenai solusi yang tepat untuk merespon isu ini. Kelompok pertama, melihat krisis iklim sebagai masalah teknis dan manajerial. Buat kelompok teknis, gak perlu tuh terlalu jor-joran dalam mengurangi bahan bakar fosil, karena toh teknologi pada akhirnya akan menyelamatkan kita semua. Berbanding terbalik dengan mereka, kelompok kedua melihat krisis iklim tidak hanya sebagai masalah teknis tetapi juga masalah keadilan sosial. Kelompok ini percaya bahwa menyetop penggunaan bahan bakar fosil adalah cara yang tidak hanya efektif tapi juga adil bagi semua pihak.

Bagi kelompok pertama, kita sebut saja ‘kelompok teknis’, krisis iklim dianggap sebagai ‘kejadian tidak terencana’ karena belum adanya teknologi yang bisa membuat a) kegiatan manusia tidak berbahaya bagi iklim atau b) membuat manusia terlindungi dari krisis iklim. Contohnya nih ya, teknologi yang bisa bikin pesawat bisa jalan tanpa perlu mengeluarkan emisi karbon, atau bahan pangan rekayasa yang tahan cuaca ekstrem sebagai makanan pokok manusia. Kelompok ini percaya bahwa teknologi itu pada akhirnya pasti akan ada dan poof! manusia bakal selamat deh.

Masalahnya: gak ada yang tau secara pasti kapan teknologi itu bisa ada. Bisa 10 tahun lagi, 20 tahun lagi, atau bahkan 100 tahun lagi. Kalaupun teknologi ini akhirnya berhasil dikembangkan, kita gak tau butuh waktu berapa lama untuk membuat teknologi ini berjalan dalam skala besar, alias di-scale up. Selama menunggu, krisis iklim sudah berdampak bagi sebagian orang.

Siapa yang paling tidak punya waktu untuk menunggu teknologi? Orang-orang seperti keluarga Mr.Kim di film Parasite.

 

Dalam salah satu adegan iconic dimana hujan ekstrem mengakibatkan pemukiman kumuh Mr.Kim dilanda banjir, keluarga Mr.Park bisa jalan-jalan berkemah, bahkan merayakan pesta ulang tahun outdoor keesokan harinya. Mereka gak perlu khawatir akan hujan ekstrem. Rumah mereka kokoh, saluran air mereka lancar, barang-barang mereka aman dan kebutuhan pokok tersedia.

 

Adegan ini menunjukkan bahwa untuk sebagian orang, yang kebanyakan adalah kelas menengah kebawah dan terpinggirkan, dampak krisis iklim sudah menjadi realita saat ini. Sedangkan untuk keluarga kaya seperti Mr. Park, cuaca ekstrem bukan (atau belum) menjadi sebuah ancaman bagi kehidupan mereka. Orang-orang seperti keluarga Mr.Park punya waktu untuk menunggu teknologi yang akan membuat kehidupan mereka terlindungi dari krisis iklim di masa depan.

Bagi orang-orang seperti keluarga Mr.Kim? Belum tentu mereka mereka masih bertahan hidup sampai ‘masa depan’ utopis itu tiba. Sebagian besar dari mereka sudah disapu banjir, dipaksa mengungsi, dilanda kelaparan dan kekurangan bahan pokok.

Ini seperti miniatur dunia saat ini. Para akademisi sosial punya istilah untuk keadaan ini: climate apartheid. Diskriminasi karena krisis iklim.

Karena faktor geografis, negara-negara yang akan terkena dampak krisis iklim paling parah adalah mereka yang paling rentan. Menurut laporan Climate Vulnerability Index, masyarakat negara berkembang harus menanggung 82% dampak dan kerugian dari krisis iklim, walaupun kontribusi mereka terhadap emisi tidak sampai 10%. Sedangkan negara-negara kaya di bagian utara bumi, the Mr.Parks of the world, mereka bukan yang berdiri di garda terdepan menghadapi krisis iklim, walaupun kontribusi emisi mereka paling besar.

‘Kan kesel, ya?

 

Kenaikan suhu paling terasa di negara-negara rentan dengan tingkat ekonomi rendah, sumber: The Economist

Kenapa kita suka banget dengan Parasite?

Parasite menggambarkan bahwa krisis iklim gak bisa dipisahkan dari ketimpangan ekonomi dan keadilan sosial! Silakan saja menunda aksi iklim dengan alasan industri tidak siap (industri yang dimiliki orang-orang kaya seperti Mr.Park!) tapi dengan syarat mengorbankan orang-orang seperti Mr.Kim yang lebih dulu terkena dampak krisis iklim tanpa perlindungan. Pilih mana?

Nah, gak cuma berhenti di situ. Film Bong Joon-ho tahun 2014, Snowpiercer, menggambarkan bagaimana janji-janji manis teknologi bukan cuma diskriminatif, tapi juga bisa membawa kehancuran baru bagi peradaban manusia.

Film ini bercerita tentang dunia apocalyptic di mana seluruh kehidupan di muka bumi sudah musnah karena dunia tiba-tiba kembali pada zaman es. Yang tersisa hanya sekelompok orang di kereta abadi bernama Snowpiercer.

 

Zaman es ini bukan fenomena alam, tapi rekayasa manusia sebagai upaya mencegah pemanasan global. Nama rekayasa ini tidak asing di telinga para ilmuwan iklim saat ini: climateengineering atau geoengineering. Konon, kedua penulis film Bong Joon-ho dan Kelly Masterson berkonsultasi pada climate engineers dalam rangka riset untuk latar belakang film ini.

Dalam film ini diceritakan bahwa proyek climateengineering bernama CW7 sedang berlangsung. Proyek ini berupa semprotan ‘zat pendingin’ yang dilepaskan oleh 79 negara ke lapisan atas atmosfer, bertujuan untuk menurunkan suhu rata-rata bumi pada ‘level yang terkendali’. Menurut voiceover di awal film, proyek ini kontroversial. Gak berapa lama setelah cerita bergulir kita tahu alasannya: proyek ini gagal total.

Segera setelah CW7 dilepaskan ke atmosfer, suhu rata-rata bumi turun bebas ke titik terendah. Dunia membeku dan semua kehidupan musnah. Tersisa satu kereta yang bak kapal Nabi Nuh membawa mereka yang tersisa. Sisa film menceritakan pemberontakan ‘kelompok terpinggir’ di gerbong belakang kereta terhadap ‘kelas atas’ yang tinggal dengan gaya hidup mewah di gerbong depan.

 

Teknologi seperti CW7 bukan hal baru bagi ilmuwan iklim. Ada sebuah skenario geoengineering di kehidupan nyata yang mirip dengan skenario CW7. Skenario ini bernama Solar Radiation Management atau SRM.

Idenya sederhana: kalau sesuatu kepanasan, kenapa gak kita kasih payung aja untuk menghalangi radiasi matahari? Kalau bumi yang kepanasan, kita bikin aja ‘payung super raksasa’ untuk menutupi bumi! Caranya dengan menembakkan zat yang bisa menghalangi sinar matahari ke lapisan atas atmosfer, yaitu sulfate aerosol yang mengandung asam sulfur.

Skenario ini terinspirasi oleh peristiwa meletusnya gunung Pinatubo di Filipina pada tahun 1991, di mana abu letusan gunung tersembur sampai lapisan stratosfer dan tidak menghilang selama beberapa tahun, mengakibatkan penurunan suhu global sampai 0.5 derajat Celsius. Menyaksikan fenomena ini, para ilmuwan merasa manusia bisa merekayasa efek ini dengan cara ‘menyemprotkan’ zat sulfate aerosol menggunakan pesawat sampai dunia tertutup seluruhnya. Gak jauh beda dari adegan awal di film Snowpiercer.

Terdengar masuk akal, ya?

Sayangnya, rekayasa iklim ini hanya terdengar bagus secara teori. Praktiknya? Jangan tanya deh. Risikonya luar biasa besar dan banyak permasalahan etika yang sulit dicari jawabannya.

Risiko paling besar bisa dilihat di film Snowpiercer itu sendiri, dimana yang terjadi malah sebaliknya, dunia mengalami zaman es yang tidak diduga.

Film Snowpiercer secara ilmiah memang tidak menjelaskan kenapa hal itu bisa terjadi. Apa yang ditunjukkan Snowpiercer bukanlah sneak peek dari masa depan kita, tetapi pesan bahwa sistem iklim bumi bukan hal yang bisa direkayasa oleh manusia. Sistem iklim bumi sangat kompleks, banyak sekali faktor yang ilmuwan tidak bisa prediksikan. Bumi ini bukan mainan. Apa saja bisa terjadi, bahkan hal-hal mengerikan yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya.

Di kehidupan nyata, walaupun tidak se-ekstrem Snowpiercer, ada beberapa prediksi dampak dari teknologi SRM seperti di bawah ini:

  • SRM dapat mengakibatkan kabut gelap permanen yang membuat ‘langit biru cerah’ hanya akan ada di buku-buku cerita. Astronomer juga akan kesulitan meneliti bintang dan planet.
  • Secara ironis, energi terbarukan dari sinar matahari menjadi terhambat karena dunia menjadi ‘gelap’. Tanpa salah satu sumber energi terbarukan ini, manusia mungkin akan terus memakai bahan bakar fosil. Akar masalah tetap ada.
  • Efek ini hanya menangani sebagian gejala krisis iklim saja, yaitu suhu bumi yang memanas. Hal-hal lain di luar itu, seperti naiknya kadar asam lautan, akan tetap terjadi akibat tingginya kadar karbon di udara. Naiknya kadar asam lautan tetap akan mengancam keanekaragaman hayati dan merusak rantai makanan organisme laut.
  • Jika sudah dimulai, kita tidak tahu kapan kita harus berhenti menyemprotkan zat ini ke udara. Ingat kan kalau radiasi matahari tidak kita hilangkan, tetapi hanya ditahan sementara? Kalau suatu saat kita harus menghentikan semburan zat ini, dengan alasan apapun, apa yang akan terjadi? Bayanginnya aja udah ngeri. Ada sih yang berargumen kalau manusia bisa ‘menyedot’ karbon di atmosfer selama radiasi ditahan oleh SRM. Masalahnya, belum ada teknologi dengan skala global yang bisa melakukannya.
  • Penelitian menunjukkan bahwa SRM dapat berdampak pada curah hujan di beberapa benua tertentu. Curah hujan di Eropa dan Amerika Utara gak bakal terlalu terpengaruh, tapi Afrika dan Asia akan mengalami kekeringan hebat. Lagi-lagi, daerah yang paling rentan akan dikorbankan demi menyelamatkan kelompok masyarakat dengan taraf ekonomi tinggi.

Masalah-masalah di atas belum termasuk masalah politik dan etika yang bisa memicu perang. Contohnya, negara mana yang punya otoritas dan akses untuk menyemprotkan zat ini? Siapa yang menentukan? Siapa yang berhak memegang kendali?

Intinya, kenapa sih kita ribet banget ingin merekayasa bumi kalau solusinya dari awal sudah jelas, yaitu “berhenti melakukan kegiatan yang menambah emisi gas rumah kaca”? Kenapa lebih gampang bagi kita membayangkan dunia seperti di film Snowpiercer daripada membayangkan dunia dimana kita harus berhenti menggunakan bahan bakar fosil dan menggunduli hutan?

Apa moral of the story dari kedua film ini? Pertama, krisis iklim gak bisa dilepaskan dari permasalahan keadilan sosial dan ketimpangan ekonomi dan kedua, susah untuk membayangkan teknologi yang akan menyelamatkan kita semua.

Kalau setelah menonton kedua film ini kamu masih percaya teknologi adalah satu-satunya jawaban yang tepat atas krisis iklim, well… mungkin kamu adalah satu dari sedikit orang di dunia ini yang punya waktu sampai teknologi akan menyelamatkan kamu (plus punya dana dan akses terhadap teknologi itu). Mungkin kamu adalah ‘Mr.Park’ di dunia nyata ini. Pertanyaannya, apa kamu akan menutup mata untuk Mr.Kim?

 

Share This