Mengapa Pemerintah Indonesia Terlalu Santai?

by Editor

 

Tahu gak kalau di Amerika sana, climate denial atau penyangkalan terhadap krisis iklim, itu sebuah industri sendiri?

Koch Foundations, kumpulan yayasan yang didirikan oleh dua bilyuner raja minyak Charles Koch dan David Koch, menggelontorkan sekitar 2 trilyun rupiah untuk menyerang fakta ilmiah dan sains tentang krisis iklim. Kegiatan di ‘industri’ ini beragam, mulai dari lobi politik agar bisnis bahan bakar fosil lancar jaya tanpa regulasi, mendirikan lembaga penelitian (yes, niat banget kan?) khusus untuk menyangkal bahwa krisis iklim disebabkan manusia, sampai menyelenggarakan konferensi internasional perubahan iklim sendiri (yang isinya tentu aja ilmuwan-ilmuwan yang gak percaya kalo krisis iklim itu ada).

Cato Institute, salah satu think tank yang didanai oleh Koch Foundation merilis Handbook for Policymakers di tahun 2009 yang berisi saran untuk pemerintah AS agar “tidak meloloskan undang-undang yang membatasi emisi karbon dioksida” dan “menginfokan publik bagaimana perubahan iklim tidak dapat dicegah dengan regulasi emisi karbon dioksida”.

Dengan semua ke-haluan yang dimodifikasi ini, gak heran kalau masyarakat AS dapat ranking tiga dalam survei mengenai ketidakpercayaan publik pada perubahan iklim yang disebabkan manusia.

Ranking satunya siapa dong coba tebak?

*drum rolls*
*drum rolls*
*drum rolls*

YOURS TRULY, NEGARA BERFLOWER +62 INDONESIA TANAH AIR BETA!

 

APAAAAAAAAAAAAAA? *JENGJENG* *ZOOM IN ZOOM OUT*

 

 

Yes, you heard right, akhirnya setelah sekian lama ada juga ranking global dimana Indonesia gak peringkat bontot. Sayangnya, ranking yang dipuncaki Indonesia kali ini adalah ranking tingkat ke-haluan dalam melihat krisis iklim. Dalam survei tersebut, 18% dari responden Indonesia menyatakan bahwa mereka tidak percaya bahwa manusia menyebabkan perubahan iklim. Bahkan tanpa gelontoran dana besar-besaran yang terorganisir seperti di AS sana, orang Indonesia sudah dengan sendirinya menyangkal sains perubahan iklim.

Sebagai latar belakang, survei ini adalah bagian dari proyek YouGov-Cambridge Globalism yang melibatkan lebih dari 25 ribu responden di 23 negara terbesar di dunia. Info lebih lanjut mengenai metodologi dari proyek ini dapat dilihat di link ini.

Kenapa bisa begitu ya?

Well, sejauh ini belum ada yang tahu jawaban persisnya. Kami coba mencari penjelasan ilmiah mengenai hal ini, tapi belum ada penelitian yang coba mengaitkan kepercayaan publik Indonesia terhadap krisis iklim dengan faktor tertentu. (Ada mahasiswa sosiologi/kebijakan publik/psikologi disini? Nih kita kasih ide penelitian!)

Walaupun belum ada penelitian yang menjelaskan hal ini, ada beberapa dugaan yang dilontarkan oleh beberapa figur publik. Niken Sakuntaladewi, sosiolog kehutanan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, seperti dilansir Vice Indonesia, menyebutkan bahwa pengetahuan minim mengenai perubahan iklim sebagai penyebabnya.

Walaupun dampak perubahan iklim sudah sangat terasa bagi sebagian penduduk Indonesia, khususnya gagal panen karena kekurangan air dan kemarau panjang, penyakit yang disebabkan karena cuaca panas, dan bencana yang semakin sering, orang Indonesia cenderung tidak mengaitkan hal-hal tersebut dengan krisis iklim.

Seperti yang disebutkan oleh salah satu juru kampanye WALHI Indonesia, Didit Haryo, isu perubahan iklim kalah jauh dari isu keagamaan di Indonesia. Justru kalau keduanya dihubungkan, banyak orang yang mengaitkan perubahan iklim sebagai ‘suratan takdir’ dari Yang Maha Kuasa. Karena udah takdir, ya gak perlu kita ubah, biarin aja. Duh, mau pensiun aja jadi manusia gak sih dengernya?

Gini ya, penduduk negara berflower, perubahan iklim itu bukan kayak jodoh. Bukan suratan takdir.

Kalau punya hati untuk bilang perubahan iklim itu suratan takdir, bilang sama Pak Muladi petani bawang merah di Brebes yang rugi puluhan juta karena panennya gagal disebabkan krisis iklim. Mengutip dari artikel WWF ini, Pak Muladi mengaku kalau “informasi soal krisis iklim tidak pernah sampai ke kami (para petani)”. Udah gak pernah dikasih informasi, gak ada rencana adaptasi, disuruh terima nasib pula!

Selain karena antusiasme publik Indonesia yang terlalu tinggi untuk membicarakan isu-isu selain perubahan iklim (khususnya isu agama), media dan pemerintah Indonesia sendiri juga gak membuat isu perubahan iklim ini jadi isu yang lebih ramah publik.

Sengaja apa enggak sih gak tau ya #EH

Pada dua pemilu terakhir di Indonesia, yaitu 2014 dan 2019, isu perubahan iklim hampir sama kayak perasaan gebetan ke kamu alias nonexistent. Bahkan dengan status Indonesia sebagai negara dengan emisi terbesar ke-lima di dunia, sekaligus salah satu negara yang paling rentan dampak krisis iklim karena posisi geografisnya, kedua paslon gak menunjukkan ambisi untuk mengurangi emisi perubahan iklim. Udah gitu, gak banyak juga yang mempertanyakan kecuali beberapa organisasi masyarakat peduli lingkungan.

Menurut Climate Action Tracker, rencana pengurangan emisi Indonesia yang ‘dijanjikan’ kepada masyarakat global lewat Perjanjian Paris di tahun 2015 lalu masih dikategorikan ‘highly insufficient’, yang kira-kira kalau diterjemahkan menjadi ‘YA GA CUKUP LAH SEGINI NDRO GILE AJA LU”.

Menurut rencana yang disebut Nationally Determined Contribution (NDC) ini, Indonesia janji mengurangi emisi dari deforestasi dan konsumsi energi, kegiatan yang mendominasi emisi dari Indonesia. Indonesia janji untuk mengurangi emisi (termasuk dari penggunaan lahan dan deforestasi) sebanyak 29% dibawah skenario business-as-usual di tahun 2030.

Janjinya sih gitu.

Kenyataannya, Indonesia bergerak cepat…ke arah sebaliknya. Kebakaran hutan di tahun 2019 aja, disinyalir melepaskan sekitar 708 juta ton emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Jumlah segitu dua kali lipatnya emisi dari kebakaran luar biasa di hutan hujan Amazon di tahun yang sama. Dari tahun 2001-2018, Indonesia penggunaan dan kebakaran lahan di Indonesia telah melepaskan setidaknya 10.5 Gigaton karbon ke atmosfer. Kebakaran hutan di Indonesia di tahun 2015, di satu tahun itu aja, disinyalir melepaskan emisi dengan jumlah yang sama dengan yang dilepaskan negara Inggris selama setahun.

Selain kebakaran hutan dan penggunaan lahan, sektor energi di Indonesia gak mau kalah nih buat jadi sektor dengan emisi terbesar. Menurut World Resources Institute, di tahun 2026/27, emisi terbesar di Indonesia bukan lagi dari deforestasi tapi dari konsumsi energi kotor. Pemerintah Indonesia juga berencana untuk membangun 100 PLTU baru yang tentunya memakai batu bara. Pusing gak pala Barbie?

Hari Minggu kemarin, The Jakarta Post memberitakan tuntutan Extinction Rebellion Indonesia kepada pemerintah Indonesia untuk mendeklarasikan darurat iklim. Dalam artikel tersebut, respon dari BAPPENAS lumayan bikin terkedjoet nih. Menurut Direktur Lingkungan BAPPENAS Medrilzam, darurat iklim masih belum perlu karena situasi sekarang belum mencapai titik yang mengkhawatirkan. “Kita belum sampai pada tahap itu”, katanya.

Kutipan dari artikel The Jakarta Post

Ya gimana ya Pak ya, kalau nunggu Pulau Jawa terendam air dulu baru gerak ya keburu telat dong? Petani-petani gagal panen, nelayan yang jumlah tangkapan ikannya semakin berkurang, orang-orang pesisir yang rumahnya perlahan dimakan bibir pantai, meningkatnya anak-anak balita yang terjangkit penyakit tropik, itu semua apa dong?

Kalau petinggi BAPPENAS aja gak percaya kalau krisis iklim itu genting, gimana kita bisa lebih jor-joran lagi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca? Gimana juga masyarakat bisa lebih tahu tentang perubahan iklim kalau pemerintahnya santai aja dan gak berusaha mengedukasi?

Anyway, perjalanan kita emang masih panjang. Tapi lagi-lagi, kita gak boleh putus asa walaupun kita hidup di tengah masyarakat dengan tingkat climate denial yang tertinggi di dunia. Justru ini adalah peluang buat masing-masing dari kita untuk lebih vokal lagi. Bicarakan krisis iklim di obrolan-obrolan ringan kalian. Kalau kalian punya platform, gunakan platform itu.

Akhir kata, buat mereka-mereka yang merasa krisis iklim itu konspirasi dan gak bisa liat dampak perubahan iklim di sekitar mereka, nih matanya ditiup dulu ama kak Nicsap.

(KATA KAK NICSAP: “TOLONG MATANYA DIBUKA YA, PINTU HATINYA JUGA DIBUKA”)

Share This