Bajumu Bikin Bumi Panas!
by Made Sania
Awal tahun begini asyik kalau ke mall dan lihat toko-toko baju karena pasti lagi diskon akhir tahun.
Celana linen yang tadinya Rp 600.000 dapat diskon jadi tinggal bayar setengah harga. Kaos putih katun yang klasik banget dan kudu ada di setiap lemari manusia bisa dibeli dengan selembar uang seratus ribu rupiah, ada kembalian lagi! Waduh tolong tahan diri ini yang ingin mengisi penuh lemari baju, padahal baru susah payah selesai decluttering ala KonMari.
Folks, kita harus tahan. Selain karena kebutuhan kita akan baju tidak sebanyak itu, juga untuk keberlangsungan dompet kita di tahun baru. Memang sih tulisan diskon dan tag baju dengan stiker merah itu menggoda iman, karena kapan lagi?! Tapiiiiiii sebelum kita beli, yuk intip apa aja sih di balik sepotong baju itu.
Pada hakikat sepotong baju, ada sebuah siklus yang terdiri dari tiga tahap utama: tahap desain, tahap promosi atau penjualan, dan yang terakhir tahap pengiriman.
Kelihatan simpel ya?
Bentar dulu nih, di tahap desain sendiri ada tiga aktivitas yang biasanya dilakukan oleh pelaku bisnis fast fashion, yaitu: perencanaan, proses desain dan pengembangan produk.
Kalau ditotal, ada enam aktivitas utama di bawah tiga tahap dalam satu siklus bisnis fashion.
Ajegile, banyak amat dah ada tahapannya.
Ya iyalah, ndro! Kamu kira baju kita dibikin dari ketiadaan layaknya gaun dan sepatu kaca Cinderella?
Bippity boppity do dan ternyata semua adalah ilusi (Sumber: Disney)
Baju kita itu harus dicari dulu pattern-nya seperti apa, material yang dibutuhkan apa saja, berapa banyak material tersebut dibutuhkan, bisa dibikin di mana dan oleh siapa, pembelinya siapa dan bentuk promosi bagaimana yang cocok, sampai bagaimana dan kapan harus sampai ke toko supaya kita-kita ini bakal beli. Satu siklus tersebut biasa dilalui selama 56 minggu bagi merk jeans global, dan dua minggu saja bagi merk fast fashion global.
Nah, siklus ini makin lama makin cepat. Menurut laporan dari Uni Eropa, rata-rata koleksi yang ditawarkan oleh fashion brand di tahun 2000an itu cuma dua aja.
Di tahun 2011, jumlah ini meningkat menjadi lima koleksi. Bahkan Zara menawarkan 24 koleksi tiap tahun, diikuti oleh H&M dengan 12-16 koleksi per tahun. Ketika banyak pilihan datang dan pergi disajikan ke kita, secara tidak sadar kita melihat baju sebagai sebuah barang sekali pakai, apalagi kalau harganya murah.
Dari 2000 hingga 2014, McKinsey melaporkan bahwa jumlah produksi baju bertambah dua kali lipat sementara rata-rata konsumsi pakaian per tahun meningkat 60 persen – padahal pakaian ini hanya dipakai selama tujuh hingga delapan kali pemakaian saja. Ketika ada koleksi baru, kita terus beli baju yang diiklankan, padahal belum tentu kita pakai baju itu lebih dari beberapa kali.
Masalahnya di mana sih dengan beli baju banyak-banyak tanpa dipakai sering?
Proses produksi baju kita ikut menyumbang kerusakan lingkungan.
Kerusakan lingkungan ini ada di tiap tahap proses manufaktur baju, mulai dari awal material diproduksi hingga baju itu sudah tidak kita pakai lagi.
Kok bisa? Pertama, kita mulai dari pembuatan bahan baju tersebut. Banyak baju kita yang dibuat dari kapas katun. Untuk menghasilkan satu celana jeans kita, diperlukan kapas yang menghabiskan air sebanyak 20.000 liter. Sementara untuk satu kaos katun, memerlukan 2.700 liter air, sama dengan jumlah air minum yang diperlukan seseorang selama dua setengah tahun! Pertanian kapas untuk industri tekstil dan pakaian menggunakan tiga persen dari lahan subur di dunia. Udah gitu, saat kultivasi tanaman kapas, pestisida dan insektisida yang dipakai juga besar. Dengan lahan yang porsinya hanya 3 persen itu, konsumsi pestisida sebanyak 11% dan insektisida sebanyak 24%.
Gimana kalau bajunya pakai bahan lain? Serat sintetis, misalnya?
Well, bahan pakaian dari serat sintetis memang tidak mengkonsumsi air dan tanah sebanyak serat alami. Namun, karena bahan utama dari serat sintetis ini adalah bahan bakar fosil jadi yha…ekstraksi masih terjadi dari aktivitas penambangan. Nah udah gitu, pakaian berbahan sintetis tidak bisa terurai dengan sendirinya dan selama proses perawatan (alias pas kita cuci) akan ada mikroplastik yang terlepas masuk ke saluran air sampai ke laut.
Jadi kita perlu tahu bahwa bahan baju kita ada plus minusnya. Kita harus tahu dan sadar apa aja sih bahan-bahan baju yang dampak buruknya tidak terlalu besar ke lingkungan. (psst, Jelujur ada bagiin tips merawat pakaian kamu dari berbagi bahan biar lebih sayang). Mengetahui terbuat dari bahan apa baju kita ini penting banget, mengingat lebih dari setengah emisi yang dihasilkan industri fashion berasal dari tiga aktivitas yang berhubungan dengan bahan baju, yaitu pencelupan dan finishing (36%), persiapan benang (28%), dan produksi serat (15%).
Setelah itu kerusakan apa lagi yang disumbang oleh proses produksi baju? Kedua, setelah baju jadi, baju perlu dikirim kesana kemari. Mulai dari pabrik, tempat pengemasan, gudang penyimpanan, wholesaler, toko, sampai ke depan kamu. Menurut PBB sih industri fashion menghabiskan energi lebih banyak daripada gabungan industri pesawat dan pengiriman.
Ini belum lagi kalau baju-baju itu diproduksi di sweatshop yang lokasinya jauh di luar negeri. Coba cek label dari baju yang kamu bali, mungkin ada yang tulisannya made in Bangladesh? Nah, baju yang dibuat di luar negeri itu butuh dikirim ke seluruh penjuru dunia. Bayangin dong emisinya kayak apa?
Di samping berdampak pada kerusakan lingkungan, sweatshop ini juga sangat menyengsarakan pekerja-pekerja mereka, yang kebanyakan adalah perempuan dan anak-anak. Ada yang pernah nonton The True Cost? Film itu membahas kejadian Rana Plaza, dimana lebih dari 50 persen pekerja di industri ini tidak mendapatkan upah minimum.
Selain para pekerja di pabrik, para pekerja kreatif dan anak magang juga ikut merasakan kekejaman dari industri fast fashion. Tidak sedikit kejadian di mana para pekerja kreatif ini tidak bisa membeli makanan karena upah mereka dibayarkan dalam bentuk voucher, perjalanan wisata, atau status sosial oleh para brand fashion ternama itu – saking hebohnya, fenomena kejamnya industri fast fashion ini sampai dijadikan disertasi S3 dan buku loh!
Ketiga, dampak lingkungan juga terus berlanjut bahkan setelah baju ini gak kamu pakai lagi.
Kalau di plot film fairytale sebuah cerita yang berawal buruk dan susah biasanya berakhir bahagia nih. Sayangnya industri fashion bukanlah sebuah fairytale. Pakaian kita yang sudah diproduksi, dibeli dan dipakai habis itu ke mana? Ke tempat pembuangan akhir alias TPA!
Gak kok, kan aku sumbangin.
Hmmmm tapi kok ada laporan begini nih dari Ghana……
Sumber: Dead White Man’s Clothes dan Fashion Revolution
Di Pasar Kantamanto, pasar baju bekas terbesar kedua di Ghana, baju bekas menggunung. Baju-baju ini berasal dari seluruh penjuru dunia, dan kebanyakan dari baju-baju bekas dan sumbangan tidak terpakai di negara-negara barat. Setiap minggu, ada sekitar 15 juta pakaian yang masuk ke pasar ini. Baju dari Kanada dan Amerika Serikat biasanya murah karena kualitasnya rendah, sementara yang dari Inggris Raya umumnya berkualitas lebih tinggi makanya harganya mahal. Pedagang baju di sana beli barang dagangan per koli, jadi gak bisa pilih per barang. Nah, grafik di atas menggambarkan komposisi pakaian per koli. Kualitas barang yang menguntungkan itu ada di kategori barang premium dan sedikit usang, total ya hanya 48 persen. Sisanya gimana? Dibakar.
Nah, tahu sendiri dong kalau limbah itu gak bagus banget buat bumi kita. Bayangin baju-baju yang tiap minggu harus menumpuk dan jadi limbah di tempat seperti Pasar Kantamanto. Sementara di belahan bumi lainnya, baju-baju terus dipasarkan dan dibeli oleh orang-orang yang tergiur diskon atau tren sesaat.
Kalau di Indonesia gimana? Kalau dari pengalaman pribadi sih, baju bekas yang ada di pasar-pasar secondhand di Indonesia banyak datang dari Jepang, Korea hingga Hong Kong. Belum tahu limbah baju-baju yang gak kebeli ini numpuk dimana. Menarik nih kalau ada yang mau riset hal serupa ke Pasar Senen atau pasar baju bekas lainnya di Indonesia. (Buat yang belajar antropologi, jurnalistik, bisnis, atau fashion sabi nih jadi topik riset.)
Kesimpulannya apa?
Beauty is pain, baby. Bukan buat kita aja, tapi juga buat bumi.
Apa yang bisa kita lakukan? Pertama, kita bisa gunakan power kita karena sebagai pembeli. Kita bisa menuntut produsen fashion untuk lebih transparan dalam konsumsi energi, supply chain, dan vendor mereka.
Selain itu, yang lebih penting lagi, sebelum membeli baju, sepatu, tas baru, coba pikir lagi apakah kita beneran perlu? Style kita sebenarnya seperti apa sih? Kita perlu identitas yang timeless supaya bisa menyusun koleksi pakaian yang bertahan lama dan tetap stylish.
Bisakah kita pinjam, beli preloved items atau cari brand yang ethical dan transparan dalam menjalani bisnis mereka? Bisa banget, karena kita gak bisa terus-terusan menghabiskan sumber daya alam dan membuat bumi semakin panas.
Well, good article. Sedikit tambahan, mungkin mbaknya bisa tambahin visualisasi data pake grafik/chart gitu biar makin seru! Btw, grazie!